narasi1.com – Belum lama ini komisi II DPRD Provinsi Sulut melakukan kunjungan ke Kementerian Perdagangan. Dari pertemuan itu, adapun yang dibahas, salah satunya terkait izin minuman keras.
James Tuuk, selaku anggota komisi II DPRD Provinsi Sulut mencoba mempertanyakan ke Kadis Perdagangan Provinsi Sulut, Daniel Mewengkang, berkaitan dengan izin minuman keras.
“Ada berapa izin minuman keras, kemudian lokasinya di mana – mana,” tanya James.
Kemudian, sejauh mana dinas melakukan kontrol terhadap produksi dan izin ini. Kenapa, karena DPRD lagi mendorong supaya ada izin terkait dengan minuman tradisional yaitu cap tikus.
“Kedua, saya mau meminta tanggapan dari Bapak Kadis Perdagangan, terkait dengan ada izin yang sudah beredar dengan merek cap tikus tahun 1978, kenapa ini bisa keluar izin, bukankah merek cap tikus ini adalah merek dari kearifan lokal,” ujarnya.
Setelah mendengar pertanyaan James, langsung ditanggapi Daniel dengan mengatakan, berkaitan dengan izin yang ditanyakan ini, khususnya yang ada di Sulut semuanya melalui dari PTSP.
“Jadi, di dinas kami ada yang namanya pemeriksaan, yakni bidang pendistribusian, jadi mereka punya kemampuan untuk menyidak dalam hal ini cuman melihat, karena dia tidak melakukan eksekusi, yang adanya itu di BPOM (badan pengawasan obat dan makanan),” jawabnya.
Lanjut Daniel, pengawasan itu melihat, apakah produknya ini sudah berjalan sesuai dengan aturan atau tidak.
“Berkaitan dengan cap tikus, kenapa izin cap tikus bisa keluar. Di Sulut ada 9 minuman beralkohol, dulunya cawan mas, yang namanya cawan mas ini bukan dibeli bahasanya, tapi di ofor handle oleh cibubu dan dia memakai nama cap tikus 1978 untuk produknya,” jelas Daniel
Untuk cibubu sendiri produksinya di Amurang, Minahasa Selatan.
Mendengar penjelasan Daniel, James kembali bertanya bisakah nama cap tikus yang sudah menjadi milik masyarakat adat, yang merupakan kearifan lokal, kemudian digunakan untuk seseorang dan dijadikan hak paten dari bersangkutan.
Daniel langsung menjawab, secara pribadi baik-baik saja dinamakan apa. “Di kita kan tidak ada bahasanya HKI (Hak Kekayaan Intelektual) bahwa cap tikus itu milik Minahasa atau cuman warga kita, kemudian tidak bisa di tempat lain, sekali lagi kita tidak punya HKI.”
“Sekali lagi, terkait izin tidak ada masalah, namanya apapun yang terpenting dia melaporkan sesuai dengan aturan yang berlaku,” ucapnya.
Daniel menambahkan, minuman kearifan lokal sudah ada sebelum bangsa Spanyol maupun Belanda, mereka sudah tahu itu, kenapa disebut cap tikus, karena orang tidak kuat minum, ketika minum itu seperti tikus.
“Jika nama cap tikus ini sudah ada HKI, pasti ada yang protes berkaitan dengan penamaan ini, tapi selama ini tidak ada yang melakukan itu, saat itu juga baik-baik saja menurut kami dinamakan cap tikus,” pungkasnya. (*)